Saya adalah tipikal orang yang mudah menjatuhkan hati. Saya harus berulang kali jungkir balik menenangkan hati agar bisa tetap aman di jalur yang seharusnya, tidak berlama-lama membiarkan area hati dipenuhi warna merah jambu. Sudah seharusnya begitu bukan?
Satu pertanyaan yang menggelitik setiap kali saya merasa virus kamuflase hati bernama merah jambu datang secara terburu-buru menggempur ketenangan yang saya miliki, mengapa hati kerap menyimpan rasa yang melebihi kecintaan terhadap Sang Maha Pemilik hati? Terlihat benar kesenjangan ungkapan syukur di sini. Kalau sudah begitu, saya biasanya menangis diam-diam. Betapa kerdilnya saya selaku manusia.
Menjaga hati bukan perkara mudah yang bisa didamaikan hanya dengan mengatakan saya akan baik-baik saja kelak atau semua pasti baik-baik saja. Belakangan saya sadar, tidak lantas urusannya akan mereda lega dan hilang. Jatuh cinta, virus merah jambu dan apapun namanya, memaksa saya harus mengeluarkan emosi ekstra untuk meredamnya larut supaya tidak menyisakan jejak setapak pun di hati. Sebab bila tidak seperti itu maka urusan hati yang satu itu bakal runyam, rumit dan menyulitakan hari-hari di depan. Saya jamin, manakala saya tidak waspada menanggapi alarm hati, saya akan sukses tenggelam dalam rupa kamuflase yang saya bangun sendiri, menjatuhkan hati-dijatuhkan hati-makan hati. Itu rute yang akan saya lewati bersama virus merah jambu yang dititipkan oleh entah siapa dia.
Berapa kali saya jatuh hati dalam dua puluh dua tahun hidup yang sementara ini saya lewati? Bukankah sudah saya akui, berkali-kali. Berarti saking seringnya sampai lupa sudah berada di hitungan ke berapa? Iya. Buruk kah itu? Bagaimana rasanya? Lalu bagaimana usahamu hingga kau masih bisa tenang berada di sini?
Tuhan membiarkan saya berulang kali mengulang perasaan semacam itu pada orang yang berbeda. Kenapa? Untuk mengajari saya agar tahu diri. Sesering saya jatuh hati, sesering virus merah jambu menggasak hati maka sesering itu pula Allah menunjukkan teguran untuk saya sadari. Ah ya, hati saya masih sangat ringkih dan lugu. Bahkan untuk mengakui kecintaan terhadap Allah saya masih kerap tergelincir. Saya belum lulus.
Bagaimanalah ini. Saya tidak menganggap ini buruk. Jatuh hati itu naluriah. Nah, akan menjadi sangat buruk kalau saya meladeni lebih jauh semisal menikmati rasa suka terhadap dia (entah siapa), membiarkannya berlama-lama menghuni ingatan saya ala lagunya Maia Ahmad-Ingat Kamu. Hadeuh... atau paling fatalnya pacaran! (Astaghfirullah... semoga Allah senantiasa mengingatkan saya dalam keistiqamahan hati). Kalo nyebut satu kata itu berasa balik ke masa-masa hitam putih hidup. Saya sudah memuseumkannya sejak lama. Lantas? Apalagi coba? Saya jumpalitan lagi, lagi dan lagi. Akan selalu seperti itu hingga pada suatu hari baik nanti Allah mengirimkan jodoh yang terbaik dan hati saya menyerah jatuh hati lagi dan lagi. Aamiin Ya Rabb...
Jadi, saya tidak perlu menggugat mengapa Allah memberikan hati yang mudah jatuh dan mudah tersulut virus merah jambu. Ibarat imun, makin sering maka akan makin kebal pula. Kebal oleh apa? Ya Virus merah jambu. Alhamdulillah, tak ada ciptaan Allah yang tidak baik. Bahkan jatuh cinta sekalipun, tentu saja akan seperti itu apabila siapapun yang sedang mengalaminya tahu ke mana ia harus memuarakan perasaannya. Jatuh cinta berarti mengagumi ciptaan Allah sesuai kadar yang semestinya sebab yang berlebihan itu juga tidak baik untuk kesehatan. Ehhm... apakah sekarang saya sedang jatuh hati? Rahasia. Beruntunglah saya agak pendiam dan kalem dan hobi menulis.
Artinya? Maksudnya? Hubungannya dengan jatuh hati apa?
Ada deh. Hanya saya dan Allah yang tahu :D
Wallahu`alam.
Rumah Angin, Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^