TUHAN TIDAK PERNAH TIDUR, NAK
Mendengar kata pahlawan, yang terbesit dalam pikiranku adalah orang-orang yang dengan gagahnya menggenggam senjata di tangannya. Dar! Der! Dor! Yang pekerjaannya membasmi kejahatan dan menciptakan kedamaian di muka bumi ini (halah, bahasaku…). Imajinasi tentang pahlawan kudapat berkat kebiasaanku melahap buku-buku sejarah dan membaca kisah-kisah para pejuang pada era kemerdekaan. Peristiwa-peristiwa heroik dalam medan pertempuran di Ambarawa, Yogyakarta, Bandung lautan api, Surabaya dan seluruh area berdarah yang telah mengorbankan jiwa dan raga para pemilik semangat Nusantara, semakin mengokohkan defenisi pahlawan di kepalaku. Bahwa pahlawan adalah mereka yang telah dengan ikhlas menjadikan dirinya sebagai tameng untuk mengusir penjajah dari bumi Pertiwi ini. Mereka yang mempertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan.
Belakangan aku kembali manggut-manggut paham. Kata pahlawan tidak sesempit seperti pemikiran yang sudah mengendap bertahun-tahun di kepalaku. Siapapun bisa menjadi pahlawan. Orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain, singkatnya aku akhirnya menyimpulkan sesederhana itulah arti pahlawan dalam bentuk kata namun teramat luas dalam cakupan makna. Ada yang pernah bilang padaku, bahkan orang yang lewat di jalan kemudian menemukan pecahan beling lalu menyingkirkannya, dia bisa disebut pahlawan. Aku, dan siapapun di luar sana pasti memiliki sosok pahlawan di dalam hatinya masing-masing. Pahlawan terhadap hidup kita.
Bila ada yang bertanya padaku siapakah pahlawan yang menginspirasi hidupku hingga bisa tetap berdiri dengan benar hingga detik ini? Orang yang telah memberiku banyak pelajaran tentang hati, tentang rasa dan tentang diri sendiri. Aku tak akan ragu apalagi sungkan untuk menyebut namanya dengan segenap haru. Dia, perempuan sederhana itu. Dialah Ibuku. Pahlawan hidupku.
=oOo=
Aku bersyukur karena Allah telah memberi kami masa-masa sulit. Sebab pada akhirnya prahara dalam rumah itulah yang mengajariku untuk lebih mengenal ibuku lebih dalam seperti beliau mengenali kami, anak-anaknya. Merobohkan tembok besar yang selama ini membatasi kami. Mengenalkanku pada cinta yang sesungguhnya terhadap perempuan yang telah memperjuangkan keberadaanku di muka bumi ini sejak masih dalam rahimnya hingga aku menghirup udara pertamaku. Memahami seperti inilah cara Ibu menyayangi kami, anak-anaknya. Tak perlu banyak berkata-kata melainkan mencerminkannya lewat tindakan.
Diluar area rumahku, mungkin orang lain memandang ibuku dengan sudut pandang yang mereka punya. Begitupun dengan aku. ibuku adalah madrasah pertama untukku dan adik-adikku. Lewat ibu, aku belajar tentang banyak hal. Masih lekat dalam ingatanku, kala aku masih terbata-bata mengeja huruf hijaiyah. Ibuku dengan tekun mengajariku. Rutin, usai shalat subuh Ibu menjadi guru ngajiku hingga beliau kemudian mempercayakanku pada seorang guru ngaji di kampung kami. Pun ketika aku baru mengenal bangku sekolah dasar. Ibu yang mengajariku membaca dan ilmu hitung. Di kemudian hari, tanpa aku sadari, Ibu telah dengan sengaja meninggalkan jejak-jejak bermakna dalam hidupku di masa lalu. Kenangan pahit menjadi madu.
Ada beberapa hal yang kujadikan referensi ketika aku bocah dulu, yang membentuk sebuah sikap nakalku pada ibu.kala itu, aku percaya Ibu tidak pernah menyayangi kami. Berdasarkan pada pengamatan jiwa kanak-kanakku. Aku membandingkan Ibuku dengan Ibu teman-teman sepermainanku. Ibu tidak pernah memanjakan kami, tidak pernah memberiku hadiah ketika aku menjadi juara kelas, tidak pernah memberiku pelukan hangat dan mengatakan bahwa beliau mencintai kami. Sampai beranjak remaja aku masih mempertahankan sikap tak acuhku pada Ibu. dingin dan asing.
Ternyata Tuhan sudah menyiapkan rencananya untuk kami. Setahun sebelum menamatkan bangku putih abu-abu, aku terperangah menjumpai wajah ibuku yang sejati. Perempuan perkasa tanpa pamrih. Di balik sifat kerasnya, aku baru menyadari betapa luas cinta Ibu untuk kami. Hatiku selalu di hujani gerimis setiap kali mengingat perilakuku terhadap Ibu. Penyesalan tanpa ujung. Prahara besar yang mengguncang rumah kami telah berhasil membangunkanku dari tidur panjang. Benarlah kata-kata bijak yang mengatakan kasih Ibu sepanjang hayat. Kasih Ibuku pada kami tiada pernah habis. Menatap lurus kedalam bola mata Ibu, selalu mempertemukanku dengan banyak hal. Tentang paras hati Ibuku yang suka mencak-mencak jika tiba bulan tua. Kutahu dengan jelas beliau penuh kasih.
Berjuang sendirian di tanah orang dengan label Mahasiswa, pencari ilmu, makin mengukuhkan keberadaan Ibu di aliran darahku. Ibuku bukanlah tipikal orang yang suka mendikte dengan kata-kata. Bekal kesabaran, pantang menyerah dan kesederhanaan kudapat bukan dengan mendengar ceramah panjang lebar dari Ibuku. Melainkan pesan-pesan terselubung di balik sifat beliau. Di tanah rantau ini aku rajin mengkilas balik kenangan-kenanganku bersama Ibu, menemukan banyak kenyataan di situ.
=oOo=
“Apapun yang terjadi, seberat apapun medan yang akan Ibu hadapi, Ibu akan tetap mengusahakan agar kalian bisa bersekolah setingi-tingginya. Menjadi orang-orang berguna.”
Ibuku berkata sambil menahan gugusan air mata yang siap membobol pelupuk matanya. Kejadian itu terjadi setahun setelah aku menempuh studi di sebuah Universitas Negeri di ibukota Provinsi. Adikku yang nomor satu baru saja menamatkan bangku SMU. Karena beberapa alas an hingga akhirnya Bapak dan Ibu sepakat menunda kelanjutan sekolah adikku. Dan Ibu dengan tatapan pedih mengikrarkan janjinya. Akan terus berjuang demi kami, anak-anaknya. Dia, Ibuku. Perempuan sederhana. Sekarang aku mengerti mengapa Ibuku bisa begitu tegar dan sabar menjalani hidupnya. Kerasnya hidup yang ibu alami di mulai ketika beliau masih bocah hingga berkeluarga seperti sekarang ini telah mengajari Ibuku bagaimana cara memperlakukan kesulitan-kesulitan hidup, bagaimana cara menyikapi ketidak beruntungan, bagaimana cara bersyukur yang paling indah yaitu dengan menjalani hidup ini dengan lega, dengan ikhlas. Ibuku sudah piatu sejak usia belasan. Melewati banyak riak dalam perjalanan hidup beliau. Tanpa sadar, ucapan ibuku itu telah membuka tirai tebal yang selama ini memisahkan kami. Ada tangan-tangan kasat mata yang telah membawaku pulang ke hati ibu. Aku bersyukur sebab aku tidak terlambat mengenal ibuku seperti beliau mengenalku. Orang pertama yang percaya aku bisa menjadi penulis adalah ibuku. beliau tak putus-putusnya memberiku semangat dan doa.
Ada beberapa cerita menarik tentang Ibu. Sebenarnya Ibuku adalah sosok yang pendiam. Hal yang paling ku ingat mengenai kebiasaan Ibu adalah jika beliau sedang di rundung masalah. Alarm alam dari hati Ibu. Ya. Apabila Ibu mulai rajin mengomel tanpa alasan yang jelas, sudah bisa kami simpulkan bahwa beliau sedang bertempur dengan kegalauan dan entah apa yang memicunya. Tetapi Ibuku bukanlah orang yang ringan tangan memukuli kami jika kami melakukan kesalahan. Ibu menjadi garda terdepan untuk kami ketika banyak orang-orang di luar menggosipkan kehidupan kami. Bekal kesederhanaan adalah warisan berharga Ibu kepada kami. Aku baru tahu, alasan Ibu yang tidak pernah memberiku hadiah ketika aku menjadi juara kelas karena Ibu tidak ingin mengajari anak-anaknya melakukan sesuatu demi pamrih, hadiah dan semacamnya. Dari Ibu pula aku mulai belajar mengenali seperti apa warna duniaku. Ibu tidak pernah memaksa kami untuk mengikuti apa yang beliau inginkan melainkan menyerahkan sepenuhnya pada kami pilihan-pilihan hidup itu. Contohnya, ketika aku nekat memilih jurusan Biologi MIPA bukannya memilih jurusan keguruan seperti keinginan beliau. Ibuku dengan sorot wajah penuh percaya berkata, “Kaulah yang akan menjalani semua itu bukan Ibu, Ibu tahu kau sudah memikirkan pilihanmu dengan mantap jadi mengapa Ibu harus menghalangi pilihanmu? Jalani dan percaya hatimu.”
Itulah Ibuku. Beliau mendidik kami menjadi orang yang percaya terhadap kemampuan diri sendiri. Pernah juga, aku bercerita padanya tentang kegagalan bertubi-tubi yang menimpaku. Tulisan-tulisanku selalu di tolak oleh pihak media. Ibuku menasihatiku bahwa, tidak pernah ada yang sia-sia bahkan kegagalan yang merambangi hidupuku, itupun bukan kesia-siaan.
“Tuhan tidak pernah tidur, nak. DIA melihat semua apa yang kau lakukan. Hanya saja, DIA sedang menunggu waktu yang sangat tepat untuk membayar semua usahamu itu. Asalkan kau tetap sabar, terus berusaha dan berdoa. Tidak ada yang sia-sia, nak.”
Ah, selalu saja air mataku menggenang bila mengingat kembali kebersamaanku dengan Ibu. Beliau yang sejak kecil memberiku kepercayaan atas keputusan-keputusan hidupku. Beliau yang selalu menemaniku bercerita di ambang pintu dapur kala sore tiba, jika aku sedang pulang kampong. Beliau yang selalu menyuburkan optimisme dalam hatiku. Beliau yang selalu gigih memperjuangkan hidup anak-anakanya. Beliau yang tidak pandai mengeluarkan wujud kasih sayangnya pada kami, tetapi kami sangat tahu, tatapan Ibu, wajah sederhana Ibu, cintanya membias di sana. Hanya dengan menatap wajah Ibu kala beliau tertidur, cukuplah bagiku untuk terus berharap kelak Allah akan memberiku kesempatan untuk menerbitkan senyum di wajah Ibu. Senyum lepas. Benar-benar lepas tanpa beban yang selama ini masih menggerogoti bahunya. Jika tidak bisa di dunia, aku ingin membahagiakan Ibu di akhirat. Aku akan terus berusaha menjadi orang yang tidak sia-sia agar bisa menjadi tabungan Ibu di akhirat nanti. Ibu, perempuan terkasih yang akan selalu tinggal di lubuk hatiku. Perempuan berhati lapang.
Ketahuilah, jika kalian bertanya seberapa cinta Ibu pada kalian, kalian tidak akan sanggup menghitung betapa luasnya cinta Ibu pada kalian.
*Saya kangen, kangen dan kangen Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca tulisan ini,.. ^^